Selasa, 31 Mei 2011

[HANYA] SEBUNGKUS GORENGAN…. (Untuk kami…)

Aku ingin menceritakan sekelumit tentang keluargaku… satu potongan hikmah dari sekian hikmah dalam hidup ini… Aku bukan bermaksud ujub atau membanggakan diriku atau keluargaku. Maksudku bercerita adalah aku hanya ingin bersyukur atas apa yang Allah berikan kepada kami.

Aku dan keluargaku adalah keluarga yang sederhana, berkecukupan. Cukup ya cukup, tidak lebih dan tidak kurang, meski manusia pastilah selalu merasa kurang (karena hawa nafsunya). Ayah saya hanya seorang pegawai negeri, dengan satu istri dan 6 orang anak. Setiap hari, setiap bulan, setiap tahun, beliau harus bekerja keras untuk menghidupi kami. Ibu saya ‘hanya’ seorang ibu rumah tangga, tidak bekerja.

Ayah saya adalah orang yang sangat ‘royal’ dengan anak-anaknya. Beliau selalu memenuhi permintaan anak-anaknya. Ting-ting-ting… misalnya, Tukang bakso lewat. Ayah akan selalu bertanya: “mau bakso ga?” sontak kami menjawab: “mauuuuu!!!!”. Dan ayah segera memanggil tukang bakso, dan membelikan kami satu per satu, satu anak satu mangkok. Atau ketika ada bunyi Tok-tok-tok… tukang somay lewat, ayah bersegera menawarkan kami: “mau somay ga?”. Kami pun tak menolak tawaran ayah yang satu ini.

Selalu setiap hari, kami merasa setiap hari kami bisa makan. Walaupun hanya dengan tempe dan sayur bayam, tapi itu sudah sangat menyenangkan bagi kami. Selalu, setiap hari, selalu ada makanan. Kadang saya heran, addaaa saja rezeki yang ayah saya bawa setiap kali pulang dari kantornya, setiap hari. Entah makanan kotak sisa seminar di kantor, entah, snek kotak dari rapat di kantor, nasi padang yang diberikan mahasiswa yang pendadaran dengan ayahku, atau sekedar sesisir pisang muli (pisang mungil) yang sengaja di beli ayah. Itu sudah sangat menyenangkan bagi kami, anak-anaknya. Saat ayah pulang dari kantor adalah saat yang kami tunggu-tunggu. ketika motor vespa jadul milik ayah terdengar. Kami langsung bergegas menuju pintu, “asiik, hari ini Ayah bawa apa yaaa…?” selalu begitu… dan aku sadari belakangan, bahwa, ayah sengaja tidak pernah memakan jatah makan siang yang diberikan kantor untuknya, atau snek yang diberikan saat seminar atau rapat di kantornya. Semua itu selalu langsung ia simpan di dalam tasnya untuk dibawa pulang ke rumah, utuh, untuk anak-anaknya. Kalau anaknya sudah memakan, barulah ia memakan, itupun hanya sekedar mencicipi, tapi kalau anak-anaknya suka, tidaklah ia mau memakannya, biar semua untuk anaknya.

Biasanya, di awal bulan, saat gajian, ayah selalu membawa bungkusan banyaaak sekali. Isinya belanja bulanan: minyak, gula, teh, sabun, pasta gigi, deterjen, dll. Tak lupa ayah membelikan sekotak cemilan untuk kami, anak-anaknya. Dan di pertengahan bulan sampai akhir bulan, biasanya yang dibawa ayah hanya sebungkus gorengan. Terasa sekali perbedaannya. Namun, satu hal yang kemudian aku sadari adalah, ayah selalu mengusahakan membawakan sesuatu untuk kami stiap hari, meski ‘hanya’ sebungkus gorengan.

Suatu ketika, saat aku dan ayahku sedang makan siang bersama, ayah berkata: “Syukuri yang ada, meskipun sedikit. Ada makanan setiap hari, bersyukur… kalau kita ngeliyat ke atas, mesti rasanya kuraang terus. Tetangga bisa beli mobil, kita ga bisa. Tetangga bisa ningkat rumah, kita ga bisa. Tapi coba, ada yang jauuh lebih susah dari kita. Ada yang makan sehari bisa sehari nggak bisa. Tapi kita, Alhamdulillah setiap hari, ada makanan yang bisa kita makan setiap harinya.”
hh…. Aku menghela nafas. Mencoba meresapi kata-kata ayah barusan. Ayah benar, yang penting kami bisa makan setiap hari, itu sudah kenikmatan yang harus kami syukuri. Karena itulah yang menambah keberkahan dalam rumah ini. Rasa syukur.

Kami tahu, kami bukan orang kaya. Kami tak punya mobil. Rumah kami tak bertingkat. Meski ayah pegawai negeri, dan bekerja sebagai dosen, kendaraannya hanyalah motor vespa butut, yang terkadang suka mogok dan tak mau menyala. Manakala dosen-dosen atau pegawai yang yang lain menggunakan motor seri terbaru atau mobil dengan body yang mulus-mulus, ayah adalah satu-satunya dosen yang memakai vespa. Tapi itu tak pernah menjadikan ayah minder dalam berinteraksi dengan rekan-rekannya yang lain. Justru kesahajaannya lah yang membuatnya disukai oleh siapapun baik mahasiswa maupun karyawan dan dosen. Ia tak segan bergaul dengan tukang sapu, tukang kunci, office boy di kantor, siapapun.

Keberkahan itu tidak selalu ketika kita berlimpah uang, kendaraan lebih dari satu, rumah bisa bertingkat, baju banyak, handphone yang bermerk dan berfitur canggih, sepatu yang bermacam-macam modelnya, jaket atau pakaian yang mampu mengikuti tren… bukan, bukan itu. namun, keberkahan itu adalah ketika yang sedikit, terasa mampu mencukupi kebutuhan kami. Keberkahan adalah buah dari rasa syukur. Dan rasa syukur itu membuahkan keberkahan. Meskipun itu datang dalam bentuk rezeki yang secara zhohir Nampak sedikit.

Keberkahan memang punya arti yang sangat luas…

Jika kita bicara dalam konteks pernikahan maka keberkahan adalah ketika kita menjalani sebuah proses pernikahan sesuai dengan tata atur-Nya, sesuai dengan syariatNya, mulai dari proses memilih jodoh hingga proses akadnya. Maka sebuah proses yang bersih ini tentunya akan mendatangkan keberkahan. Bagaimanapun, ketika memang Allah sudah Ridho dengan prosesnya, pastilah Allah mudahkan prosesnya pula… kemudahan yang datang dari arah yang tidak disangka2. Tidak punya uang untuk mengadakan walimahan-lah… kekhawatiran akan hutang sana-sini, dan sterusnya… namun allah menjawabnya dengan kemudahan yang alah datangkan karena keridhoanNya.. Ketika keberkahan satu datang, maka akan mendatangkan keberkahan yang lainnya. Sampai nanti proses dalam melahirkan keturunan, mendidik, dan tentunya membangun rumah tangga itu sendiri.

Ketika kita bicara dalam konteks rumah tangga, maka keberkahan adalah ketika suami dan istri saling memahami satu sama dan saling menjaga diantara keduanya. Ketika sang suami dengan gigih mencari nafkah bagi keluarga, karena sudah selayaknya tugas suami unttuk dan mencari. Dan sang istri dengan ridho dan qonaahnya menerima berapapun yang dihasilkan suami. Tak banyak menuntut. Penghasilan berapapun akan ia gunakan untuk menghidupi sehari-hari selama jangka waktu berkala.. sampai Allah memberikan rezeki berikutnya. Dengan penghasilan yang ada akan dirasa sudah cukup membahagiakan dan mencukupi kebutuhan.

Satu kata kunci yaitu: TAWAKAL. Sepanjang kita memang senantiasa menjaga Husnudhon pada Allah dan tidak melanggar apa yang telah ditetapkan Allah, yakinlah Allah akan memberi kemudahan itu… END.


#luv father! :)

2 komentar: