Jumat, 05 Oktober 2012

wanita sebaiknya berpendidikan tinggi... (??)

ini hanya sebuah pemikiran.

tempo dulu, saat masih awal-awal masa kuliah, teman sekamarku yang terpaut beberapa tahun cukup jauh di atas ku mengajakku kerumahnya di wilayah selatan Yogyakarta. Aku menyebut temanku itu—Kejora. Saat itu dia bercerita, tentang seorang muassis dakwah kampus teknik—kampusku, seorang akhwat yang telah melanjutkan pendidikannya di negeri jiran seberang sana. Sang muasis ini berkata,”Perempuan itu harus berazam untuk sekolah tinggi, dan menggapai sekolah tingginya itu. Tak cukup S1, atau S2, jika perlu S3..”

hmmm...aku mencerna. Tidakkah statement di atas mengundang tanya: “kenapa?”.
Ya, kata itulah yang spontan ku lontarkan kepada temanku yang menyampaikan ulang statemen sang muassis ini kepadaku.

Penasaran? Atau... sudah tau alasannya?

Beginilah jawaban sang muassis tadi, “karena wanita esok akan menjadi seorang ibu. Setinggi apa kualitas pendidikan seorang ibu, maka itu akan menentukan kualitas intelektual sang anak..”

Wah kok bisa? Saat itu, temanku menjelaskan alasan lebih jauhnya. Namun, aku belum bisa benar-benar memaknai dan mencernanya, entah karena logikaku belum sampai, atau karena memang aku belum mengalami dan menjalaninya, saat itu. :D
Namun, beberapa waktu ini, aku mulai menyadari pentingnya seorang wanita memang perlu berpendidikan tinggi. Apa??

Hal ini kusadari ketika aku sedang menggalau soal pendidikan. Saat itu,aku sedang bingung-bingungnya mengenai perihal konsentrasi apa yang akan aku dalami jika aku melanjutkan studi ku. Aku sangat bersyukur, ayahyang ditadirkanNya sebagai salah seorang tenaga pendidik, dapat memberikan gambaran yang cukup menjawab kebimbanganku saat itu. Di sanalah aku menyadari, peran orang tua sebagai pemberi pandangan dan wawasan tentang suatu hal kepada anak-anaknya sendiri. Bukan orang lain. Karena orang tua adalah orang terdekat bagi anak-anaknya. Bukankah demikian? Sementara wawasan dan pandangan akan sangat ditentukan pada sebanyak apa pengalaman seseorang di bidang tertentu. Ini hanya satu contoh.

Zaman bergerak maju. Barangkali mereka yang hidup pada generasi penjajahan tidak memungkinkan untuk mengenyam pendidikan tinggi, bahkan mereka yang bisa bersekolah hanya dari kalangan terbatas. Atau barangkali, mereka yang hidup di masa orde baru sampai reformasi dan generasi setelahnya berupaya sekeras mungkin untuk menafkahi hidup mereka dan keluarga dikarenakan kondisi perekonomian yang tidak stabil saat itu. Sehingga mereka memilih untuk bekerja.

Zaman memang terus bergerak maju. Standar pendidikan yang berupaya untuk dienyam semakin tinggi. Dulu, seseorang masuk Sekolah Rakyat saja sudah sangaaaat bersyukur. Lalu dengan berbagai perkembangan kondisi di negara ini, orang-orang semakin berupaya agar bisasekolah sampai tingkat menengah, hingga ke perguruan tinggi. Mereka yang hidup di generasi sebelum ini, yang mungkin tidak dapat meneruskan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi akhirnya bertekad untuk menyekolahkan anak-anak mereka sama atau lebih tinggi dari mereka. Karena mereka merasakan pentingnya pendidikan. Sehingga pendidikan anak bisa jadi lebih tinggi dari orang tua mereka. Dan pada generasi esok, barangkali, pendidikan orang tua bisa sama lebih tinggi atau sama dengan anak mereka (artinya, sama-sama tinggi).

Lalu mengapa wanita? Kan ada laki-laki...?

Kembali ke pembahasan di awal. Wanita harus berpendidikan tinggi. Mungkin sekilas, terkesan seperti pemikiran2 kaum feminis, dimana wanita berpkiprah sebebas dan seluasnya. Tapi jika kita melihat dari sudut pandang sebuah keluarga, maka kita teringat akan sebuah pernyataan yang mengatakan“wanita adalah madrasahkeluarga”. Ia lah pendidik anak-anaknya, ia yang akan mendampingi anak-anaknya dalam tumbuh kembangnya menjadi sesuatu. Namun disini, bukan berarti mengesampingkan peran seorang ayah. Karena bagaimana anak-anak itu akan menjadi adalah kerjasama dari ayah dan ibu. karena esok, seorang ibu atau juga ayah, harus tepat dalam memberikan jawaban atas berbagai keingintahuan seorang anak atas dunia dan kehidupan dimana ia tinggal. :)

Ini hanyalah sebuah pandangan atas sebuah pilihan hidup. Bisa benar, bisa salah. Boleh sepakat, boleh tidak. yang pasti, kita harus punya alasan sadar dan tepat atas berbagai pilihan hidup yang kita ambil. Jadi, smua kembali pada pilihan hidup kita masing-masing. :)