Jumat, 10 Oktober 2014

Bapak

Bapakku sudah tua...
Suaranya mulai terdengar parau saat belakangan aku menelponnya. aku tau ia sedang batuk, dan mungkin suara paraunya berasal dari batuk yang sedang menghinggap di dirinya. Namun hal itu, semakin membuatku menyadari, dirinya sudah menua.

Bapakku sudah tua...
Kerap aku telepon kembali, menanyakan suatu hal yg ia janjikan akan memberitahu. saat kutanyakan kembali, "Bapak ingat ga, kita membicarakan ini d malam idul adha?", padahal selang aku menelponnya kembali skitar 3 hari berikutnya, dan ia menjawab, "nggak.. bapak sama sekali ngga ingat.." :')
Aku hanya tersenyum dan tertawa kecil, -Tuhan, ia sudah menua.. :')

Bapakku sudah tua...
Sudah hampir 1 bulan bapakku sakit. Batuk, yang belum sembuh-sembuh. Bapakku tidak merokok. Dahulu, ia memang sempat jadi perokok berat, kata ibuku. Tapi itu duluu sekali. Bahkan sebelum aku lahir ke dunia. Namun setelah ia merasakan sakit di dadanya, ia bertekad untuk berlepas diri dari rokok. Dan masih sebelum aku lahir, bapak sudah tidak merokok lagi, sampai hari ini. Aku tak tau, apa sebab batuknya hari ini. Ya...mungkin batuk memang bukan penyakit "seserius" kedengarannya dg penyakit2 tua lainnya. Namun bagaimanapun, aku tetap merasa khawatir, dengan penyakitnya.

Bapakku sudah tua...
Kerap, aku teringat 1 hal yang membuatku cukup sangat merasa bersalah. Saat aku tau, ia mengorbankan S3 nya demi menyekolahkan ku di sebuah kampus ternama di tengah pulau Jawa sana. Dahulu, beliau memintaku untuk memilih kuliah d kampung halamanku. Namun,saat itu aku berkata, "Aku nggak bisa bilang iya, sampai nanti pengumuman kampus di Jawa yg aku daftar, keluar." Dengan yakin dan tegasnya aku melanjutkan, "Jika Allah memang menakdirkan aku disana, Allah pasti akan meluluskanku, jika tidak, maka Allah tidak akan meluluskanku." Entah salah entah benar jika aku berkeyakinan seperti ini. Ah,kadang aku merasa sangat bersalah telah mengucap demikian. Betapa ambisiusnya aku mengejar mimpiku, saat itu. Lantas, hubungan kami menjadi agak kaku. Hingga pada hari pengumuman tiba, aku mendapat sms konfirmasi bahwa aku lolos masuk ke universitas tersebut. Senang? Tak usah ditanya. Sejujurnya aku malah bingung harus bagaimana. Aku simpan pengumuman itu baik2. Hingga, suatu ketika, kakakku menanyakan, "Lolos ngga?". Duh. Ia menanyakannya persis ada bapakku d sampingnya. Aku hanya menganggukkan kepala. Datar. Tanpa ekspresi. Tak seperti seharusnya ekspresi ketika seseorang mendapatkan apa yang ia inginkan. Aku tau, aku berusaha memahami, alasan orangtuaku tidak mengizinkanku atau lebih memintaku utk tetap kuliah d kampung halaman. Pertama, aku adalah anak bungsu dan perempuan. Kedua, belum pernah ada satupun dr anggota keluarga kami yang pergi merantau utk sekolah, jauh dari orang tua. Ketiga, sekolah yang aku tuju terletak d tengah2 pulau Jawa yang secara jarak tempuh butuh 22-24 jam naik bus. Cukup jauh bukan? Keempat, persoalan finansial. Ya..dan aku hanya terdiam. Berusaha menjauhi bapak saat itu, tepatnya menghindari bincang dengannya. Aku tak tau harus senang atau sedih. Aku tak tau apakah ini karunia atau bencana. Sampai akhirnya, kami berada d ruangan yang sama. Lalu tiba2 ia angkat bicara pertama,"Ambillah...sekolahlah disana. InsyaaAllah bapak akan cari biaya."
Tuhan.. T_T. Aku tak tau harus berkata apa. Ya..Biaya yang ia pakai menyekolahkanku adalah biaya yg ia kumpulkan yang awalnya untuk melanjutkan pendidikan S3 nya. Dia...mengalah, dan memilih mengorbankannya,untukku. (Mei, 2007)

Bapakku sudah tua...
Itulah sepetik kisah ttg ambisiku di masa lalu. Sekarang, Aku ingin membagiakan mereka. Aku yang sangat berambisi ini harus meredakan ambisiku. Mengalah, seperti apa yang bapakku lakukan untukku, dahulu. Mengalah, agar mereka ridho terhadapku. Sebagai sebuah ganti, kengeyelanku dimasa yang lalu. Aku akan menuruti apa yang mereka inginkan terhadapku. Itulah sulitnya, bagi seseorang yang memiliki mimpi dan ambisi yang tinggi.

Bapakku sudah tua...
Dahulu bapak pernah menyampaikan suatu pesan kepadaku,"Jadilah guru.. jadilah dosen. Itulah sebaik-baik pekerjaan, terutama utk perempuan." Ia melanjutkan,"Jadi guru itu, pahalanya banyak. Kamu menyampaikan ilmu. Dan itulah sebaik baik amal jariyah. Amal yg pahalanya akan terus mengalir. Sekalipun kamu sudah tiada. Apalagi, kalo bsok kamu sudah berumah tangga. Kalo dosen , jadwalnya bs lebih fleksibel. Kamu masih bisa mengurus keluarga dan anak2mu kelak." Pesan ini tertanam kuat dalam benakku. Dan kujadikan ia sbg salah satu capaian hidup yg ingin (akan) kuraih.

Bapakku mulai menua...
Ya, Perubahan dalam hidup adalah sebuah kniscayaan. Semua bergantung pada kehendakNya, takdirnya, apa2 yang telah tertuliskan dalam Lauh MahfudzNya. Sampai pada musibah kecelakaan yang menimpa bapakku, hingga rusuknya patah 6. Dan saat itu aku msh di rantauan, mempersiapkan berbagai hal utk mencari2 sekolah lanjutan usai S1. Aku segera kembali ke kampung halaman meskipun keluargaku sbagian menyuruhku tetap di  rantauan sana. Tapi aku tak mau. Aku tetap kembali ke  kampung halaman untuk merawat bapakku. Sejak saat itu, aku bertekad, aku tidak ingin membuat ayahku terlalu lelah bekerja untuk menghidupi keluargaku. Aku, akan bekerja.

Bapakku sudah tua...
Tak dinyana, Allah memberikanku kelapangan rezeki pekerjaan seketika itu. Yang membuatku merantau di kota yang baru. Manakala jaman ini, betapa sulitnya orang mendapat pekerjaan. Bukankah ini suatu kenikmatan? (Yang harus aku syukuri). Bukankah ini memang jalan yg Ia tuntunkan kepadaku?(utk dengan ridhonya aku jalani). Sekarang, jika boleh kusebut, Aku adalah wanita karir. Setelah sebelumnya,aku meminta izin kepada Bapakku,"Haruskah aku menerima pekerjaan itu?" "Ya..", jawabnya.

Bapakku sudah tua...
Hampir 2 tahun aku menjalani peranku sbg wanita karir. Sampai akhirnya,mimpi itu muncul kembali. Mimpi untuk menjadi dosen. Namun sekali lagi, perubahan dlm hidup adlh sbh keniscayaan. Aku diskusikan hal ini kembali dg bapakku. Dan ia berkata,"kerja dulu saja ya..". Kamu tau, saat2 inilah semua peluang2 melanjutkan kuliah sedang terbuka lebar. Terutama kesempatan belajar di luar negeri. Sekali lagi, aku harus menahan ambisiku. Dan mungkin, melupakan mimpiku. Jika pada biasanya perempuan (seorang istri) mengorbankan mimpinya demi taat kepada suaminya, maka aku, mengorbankan mimpi2ku demi kepatuhanku kpada ia yg telah memberikan dan mengorbankan banyak hal kepadaku, ialah bapakku.
Mengalah, seperti yg telah dilakukan bapakku kepadaku kala itu. Dan kini, Giliranku yang mengalah untuknya.
Ah...:'|
Beginilah rasanya mengorbankan itu..

Bapakku sudah tua...
Suatu ketika bapak berkata: "Kamu itu anak yg paling bapak banggakan.. jujur aja.."
Sungguh, Tak ada perasaan syukur lain, selain mendengar hal ini dr orangtuamu. Aku tau, bagaimanapun capaian diriku, ada orang yg selalu membanggakanmu. Aku tau, aku memang hanya seorang pegawai swasta..prestasiku pun saaangat biasa. Bahkan tak berprestasi apa2. Tapi, selalu ada bapak yang mengapresiasi dan membanggakanmu di belakangmu. :'D
However you are...

Bapakku sudah tua...
Aku tak peduli bagaimana takdirku nanti. Aku berusaha terus menyukuri dan menjalani apa yang ada padaku saat ini. Mengutip kata2 seorang teman suatu kala, "Mengikuti aliran takdirNya itu lebih menentramkan."
Ketika memang aku ditakdirkan tetap menjadi wanita karir kantoran, aku akan tetap menjalaninya.. :')
Ketika mungkin Allah ternyata membuat skenario yg lain untukku, aku akan menjalaniNya. Spanjang hal itu nantinya yg akan mendatangkan ridhoNya dan ridho orang tua kepadaku. :')
Berharap menjadi bagian yg disebut Allah dalam lantunan ayatNya:
-rodhiyallahu 'anhum wa rodhuu 'anhu-

Bapakku sudah tua...
Waktu juga semakin menua.. kesempatan boleh jadi kian sedikit. Kesempatan untukku berbakti padanya, atau kesempatan msg2 kami utk berada di dunia ini. Di waktu yang tersisa ini.. aku ingin mengganti waktu2 ku yg pernah tersia dari berbakti kepadanya. Smoga Allah mengizinkan...

-allahummaghfirli..waliwalidayya warhamhumaa kamaa robbayani soghiro..-