Sabtu, 21 April 2012

Tentang sebuah dedikasi..


Belakangan ini, aku merasa beberapa forum yang aku temui menyebut-nyebut soal dedikasi. Entah di kampus, di radio, di televisi, dan juga di rumah. Dalam fenomena-fenomena yang kutemui, pun tak sadar aku menyebut itu sebagai dedikasi. Aku jadi tergilitik untuk membuat sebuah catatan mengenai dedikasi.

Apa itu dedikasi?

Suatu ketika, aku hendak pulang kerumah, di tengah hujan yang cukup deras di sore hari, aku menyempatkan mampir ke kampus ku untuk suatu keperluan. Di sana aku melihat, 2 orang bapak bapak masih setia berjaga di portal masuk dan keluar. Di bawah hujan. Mereka hanya berlindung di bawah pepohonan di portal tersebut. Aku menyebutnya, “itulah dedikasi.”

Seorang karyawan di ruang studioku begitu bersabar menunggu selesainya jam kantor, meskipun ia harus melakukan sesuatu entah apa untuk membunuh kebosanan menunggu jam kantornya selesai. Terlepas dari seberapa ga penting hal yang ia lakukan untuk membunuh kebosanannya itu. Aku menyebutnya, “itulah dedikasi”

Seorang dosen menunggu para mahasiswanya datang ke kelas perkuliahannya, rela menunggu30 menit, 45 menit, atau bahkan sampai waktu perkuliahannya selesai, agar ia tidak benar2 makan “gaji buta”, karena ia sudah dibayar oleh uang rakyat. Aku menyebutnya, “itulah dedikasi.”

Seorang pemuda, rela di tempatkan di mana saja untuk mengajar daerah tertinggal, walau ia tak mendapat gaji. Ia melakukan itu semua, hanya demi, upaya mencerdaskan bangsa ini. Aku menyebutnya, “itulah dedikasi.”

Seorang guru ngaji tetap datang, bagaimanapun kondisi cuaca, seberapa sedikit murid yang datang, walau hanya ada 1 murid yang datang, atau bahkan, meskipun ia tidak dibayar, ia tetap datang mengajar. Karena murni dari hati, ia ingin mengajarkan ilmu qur’an kepada mereka yang belum faham akan qur’an... ia tak berharap balas dari muridnya, namun, ia meyakini segalanya akan dibalas, oleh yang ‘di atas’. Aku menyebutnya, “itulah dedikasi”

Dan mungkin... masih ada contoh-contoh lain dari sepersekian fenomena yang kita temui dalam hidup ini. Mungkin contoh ini tidak hanya satu, tapi bisa jadi terbilang sedikit. Artinya, mungkin jarang orang yang saat ini masih memliki dedikasi tinggi dengan pekerjaannya. Masih memegang prinsip dalam pekerjaannya.

Aku tak ingin mencela pemerintah, atau para pejabat2 negeri ini yang sedang bertandang di atas sana, karena pun aku menyadari belum punya kafaah disana. Namun, kerap kali muncul banyak tanya di benakku, kemana dedikasi mereka sebagai “pelayan rakyat”? betapa, masih teganya mengambil uang negara untuk kepentingan pribadi, di tengah keadaan rakyat yang masih kekurangan sana sini. Mungkin masih tidak akan habisnya tanya itu untuk saat ini. Yang ada, bagaimana kita mampu mengaktualisasi diri sesuai dengan kafaah yang kita miliki tuk sedikit demi sedikit memperbaiki keadaan bangsa ini. Sedikit, demi sedikit. Sesuai apa yang kita bisai.

Yah, itulah sebab, mengapa “dedikasi” cukup jarang dapat ditemui.. ketika sebuah pekerjaan bertemu dengan kebutuhan yang akhirnya memunculkan sebuah kepentingan. Ketika pekerjaan atau jabatan hanya diselimuti balasan/upah ansich, tanpa ada prinsip hidup yang menyertainya. Ketika segala sesuatunya bertemu dengan kebutuhan untukdapat bertahan hidup...”asal saya dapat uang”. Maka, dipastikan... dedikasi akan semakin menghilang...


Dedikasi, memang tak mudah. ia akan muncul karena dua hal.

Yang pertama, ketika seseorang memiliki prinsip hidup dan prinsip kebenaran dalam dirinya. Karena dedikasi lahir, dari sebuah prinsip, bukan kepentingan. Barangkali, sebagian ada yang mengatakan “kebenaran itu relatif”. Maka saya mengatakan, “Tidak, kebenaran itu MUTLAK. Kebenaran itu datang dari Tuhan. Kebenaran itu adalah nilai-nilai ilahiyah (ketuhanan). Dan nurani seorang manusia pastinya akan mengarah pada kebenaran, sekalipun jiwa dan ucapnya dibantu oleh logikanya menafikan kebenaran itu. So, mintalah fatwa kepada hatimu, itulah pesan rasululloh kepada sahabatnya, dan pastinya kepada kita pula. Karena hati, tidak akan pernah dusta, karena hati, akan selalu mengarah pada fitrah kebenaran, karena hati, ada pada genggaman Robb al Kholiq... :)

Yang kedua, ketika seseorang telah mencintai pekerjaannya. Dimana dasar cinta itu ber landas pada sebuah kata “pengabdian”. Pengabdian kepada perusahaahnnya, pengabdian pada almamaternya, pengabdian pada institusi tempat ia bekerja...dan sebagainya dan sebagainya.. dan tentunya, pengabdian paling mulia dan hakiki adalah pengabdian kepada Robbnya. Saat seorang telah cinta pada pekerjaannya dengan landasan yang hakiki tadi, yakinlah, selama apapun ia bekerja, meski sedikit upah yang ia terima, ia tidak akan pernah lelah, karena ia hanya berharap pada satu-satunya Dzat yang sanggup memberi balas...

Opiniku terakhir soal “dedikasi” pada bagian ini adalah,bagiku, “dedikasi” memilik makna yang hampir sama dengan kata “militansi”, dengan nada kata yang lebih soft. I think. Barangkali, kata “militansi” bagi para sebagian aktivis dakwah, menjadi satu kata lecutan pembangkit semangat gambaran seorang kader yang ideal. Tapi... nampaknya itu hanya berefek di masa yang dulu, saat dakwah awal-awal mengemuka di negeri ini. Namun sekarang, kata”militansi” tidak begitu “populer lagi” untuk menjadi gambaran aktivis ideal. Mungkin saatnya kata “militansi” diganti dengan “dedikasi” tuk kembali melecut semangat aktivis tuk terus bergerak dan berkarya di bidangnya. End.

Then... Haa.. aku menjadi geli sendiri menulis tentang dedikasi, di tengah diriku sendiri sedang penat dengan pekerjaanku saat ini. Mungkin, itulah mengapa, Allah menskenariokan orang-orang dan juga fenomena yang aku temui di sekitarku, untuk menyampaikan pesan dan semangat kepadaku soal “dedikasi”....yappari..


anyway, thanks Allah... You Teaches me with your obvious ways..


semoga manfaat...


*ditengah ke-muakan-ku dengan studio

Tidak ada komentar:

Posting Komentar